“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan
Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki,” (QS. 3 : 169).
Anda pasti akan meninggalkan dunia ini. Tak ada orang yang hidupnya
kekal di dunia. Ada dua pilihan untuk meninggalkan dunia: ‘akhir yang
baik’ atau ‘akhir yang buruk’. Pilihan tersebut terserah Anda. Anda yang
bertanggung jawab untuk mewujudkan salah satu dari dua pilihan
tersebut.
Sebenarnya ‘akhir yang baik’ adalah puncak sukses yang sesungguhnya.
Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, orang yang mengakhiri
hidupnya dengan ‘akhir yang baik’ (dengan memperoleh kesuksesan seperti
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya) akan dikenang oleh
masyarakat sebagai orang yang sukses. Namanya menjadi harum dan dikagumi
banyak orang. Persis seperti pepatah: gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan nama. Ia akan tetap ‘hidup’ di masyarakat
karena karyanya dan kehadirannya di dunia memberikan manfaat bagi
masyarakat. Ia dijadikan teladan bagi generasi selanjutnya. Sebaliknya
orang yang meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang buruk’, namanya tidak
akan dikenang. Ia cepat dilupakan oleh masyarakat. Jika pun diingat,
yang diingat adalah keburukan dan kegagalannya. Masyarakat menjadikannya
sebagai contoh yang tidak boleh ditiru oleh generasi selanjutnya.
Kedua, --dan ini yang paling penting-- ‘akhir yang baik’ merupakan
puncak sukses karena ia ‘tiket’ untuk masuk ke dalam surga. Surga adalah
salah satu dari dua tempat yang ada di alam akhirat. Salah satu tempat
lagi adalah neraka. Surga adalah tempat yang penuh dengan kenyamanan dan
kenikmatan. Sedang neraka adalah tempat yang penuh dengan penderitaan
dan penyiksaan. Orang yang beriman kepada Tuhan pasti percaya bahwa
kehidupan di dunia ini akan berlanjut pada kehidupan di alam akhirat.
Ketika kita meninggal, kita sebenarnya tidak mati dalam pengertian
sebenarnya tapi hanya berpindah ke alam lain untuk melanjutkan hidup
kita selama-lamanya di alam akhirat. Pemahaman ini tentu tak akan
dimengerti oleh mereka yang tak percaya kepada Tuhan dan alam akhirat.
Namun kehidupan di akhirat tak seperti kehidupan di dunia. Di dunia,
yang baik dan yang buruk disatukan dalam satu tempat. Di akhirat, yang
baik dan yang buruk akan dipisah. Yang baik akan masuk ke surga. Yang
buruk akan masuk ke neraka. Hal ini sudah merupakan ketentuan yang
dibuat oleh Tuhan dan manusia tak bisa melawan hukum Tuhan tersebut.
‘Akhir yang baik’ merupakan puncak sukses karena hidup kita yang
selama-lamanya di akhirat ditentukan oleh ‘akhir yang baik’ itu. Jika
kita gagal memperoleh ‘akhir yang baik’ maka hidup kita akan menderita
selama-lamanya di alam akhirat. Kita akan masuk neraka yang penuh dengan
penderitaan. Semua sukses yang kita peroleh di dunia menjadi percuma
jika kita gagal memperoleh ‘akhir yang baik’. Tidak ada kesuksesan jika
kita akhirnya masuk ke dalam neraka. Oleh karena itu, ‘akhir yang baik’
merupakan barometer yang pasti dari kesuksesan seseorang. Sukses yang
lainnya hanyalah bersifat sementara dan labil karena bisa berubah-ubah
selama kita masih hidup di dunia. Sesungguhnya kita tidak bisa
menentukan apakah seseorang itu sukses atau tidak sebelum kita melihat
apakah akhir hidupnya diselesaikan dengan ‘akhir yang baik’ atau tidak.
Kematian yang datang Tiba-Tiba
Jika kematian itu dapat diprediksikan, mungkin kita bisa
menskenariokan bagaimana akhir hidup kita. Sayangnya kematian tak bisa
diprediksikan kapan datangnya. Kematian datang dengan tiba-tiba. Tanpa
pemberitahuan dan gejala sedikitpun. Ada orang yang tadinya sehat,
tiba-tiba meninggal seketika. Sebaliknya ada orang yang sakit-sakitan
namun umurnya panjang.
Karena kematian datang secara tiba-tiba maka kita harus selalu
waspada menghadapi kematian. Caranya dengan berupaya agar selalu berada
dalam keadaan sukses: hidup yang seimbang; memberikan manfaat bagi orang
lain; konsisten menuju cita-cita mulia, dan menikmati
kemenangan-kemenangan. Peluang untuk mendapatkan ‘akhir yang baik’ akan
lebih besar didapatkan oleh mereka yang selalu berada dalam keadaan
sukses. Sebaliknya, akan semakin kecil bagi mereka yang sedang tidak
berada dalam keadaan sukses : hidup yang tidak seimbang, kurang memberi
manfaat bagi orang lain, tidak berupaya mencapai cita-cita mulia, dan
tidak menikmati kemenangan-kemenangan (tidak bersyukur).
Namun, memperoleh sukses yang lainnya itu tidak bisa dijadikan
jaminan untuk memperoleh ‘akhir yang baik’. Ia hanya peluang, bukan
jaminan. Hal ini karena ‘akhir yang baik’ termasuk rahasia kehidupan
yang hanya Tuhan yang tahu. Ada orang yang hidupnya selalu berada dalam
keadaan sukses, tapi ternyata di akhir hidupnya melakukan perbuatan yang
buruk, sehingga matinya dalam ‘akhir yang buruk’. Sebaliknya, ada orang
yang bergelimang dengan keburukan alias gagal hidupnya, tapi ternyata
beberapa saat sebelum meninggal ia melakukan perbuatan baik, sehingga
mati dalam kondisi ‘akhir yang baik’.
Jadi tugas kita adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk
menghadapi kematian yang mendadak. Caranya dengan selalu berupaya berada
dalam kondisi sukses, sehingga peluang untuk memperoleh ‘akhir yang
baik’ bisa kita dapatkan.
Warisan Bermakna bagi Kehidupan
Jika Anda ingin memperoleh sukses besar, berkaryalah untuk orang lain
yang manfaatnya berdimensi lama dan dirasakan oleh sebanyak-banyaknya
orang. Bahkan kalau bisa karya tersebut tetap bermanfaat bagi orang lain
setelah Anda meninggal.
Inilah yang dimaksud warisan yang bermakna. Warisan yang nilainya
jauh lebih mulia daripada harta, kedudukan dan popularitas. Sebab jika
harta, kedudukan dan popularitas cepat hilang dan punah, warisan
bermakna akan bertahan lama dalam menyumbang sejarah peradaban manusia.
Inilah warisan yang ditinggalkan orang-orang besar kepada kita, seperti
para nabi, pemimpin, penemu, seniman, dan lain sebagainya. Kita
berhutang budi kepada mereka. Dengan sumbangsih mereka, peradaban
manusia tetap ada dan kehidupan tetap berjalan.
Warisan yang bermakna. Itulah yang perlu kita tinggalkan untuk
generasi sepeninggal kita. Warisan berupa karya yang bermanfaat bagi
orang banyak. Bentuknya bisa berupa ajaran, nasehat, ide atau produk
yang dirasakan manfaatnya bagi orang lain. Semakin banyak orang yang
bisa merasakan manfaatnya semakin besar warisan bermakna kita. Tak
peduli apakah orang lain mengingat atau melupakan jasa kita.
Warisan bermakna ini yang akan membuat kita bahagia di dunia dan
tersenyum senang di akhirat kelak, seperti yang dikatakan Sayyid Quthb,
“Kebahagiaan yang sesungguhnya aku rasakan adalah ketika aku merasa
yakin bahwa aku telah meninggalkan sesuatu yang berharga bagi generasi
penerusku”.
Jadi jika Anda ingin sukses dan bahagia, tinggalkan dunia ini dengan
memberikan warisan yang bermakna bagi generasi pelanjut. Inilah sukses
yang besar. Sungguh inilah yang akan dipikirkan setiap orang ketika
mengalami sakaratul maut kelak. Apakah ia telah meninggalkan sesuatu
yang berharga untuk orang lain atau tidak. Ia akan merasa menyesal jika
merasa dirinya belum meninggalkan warisan yang bermakna bagi orang-orang
sepeninggalnya. Sebaliknya, merasa bahagia dan puas meninggalkan dunia
ini karena telah meninggalkan warisan yang bermakna.
Indikator ‘Akhir yang Baik’
Sesungguhnya hanya Tuhan yang tahu apakah kematian seseorang berada
dalam ‘akhir yang baik’ atau ‘akhir yang buruk’. Namun ada beberapa
indikasi yang telah diberikan Tuhan kepada kita --melalui kitab-Nya--
untuk mengetahui apakah seseorang itu mati dalam ‘akhir yang baik atau
buruk’. Kehidupan yang nikmat di surga sebagai imbalan dari ‘akhir yang
baik’ telah ditentukan Tuhan syarat-syaratnya. Kita tak bisa ‘protes’
dan merubah aturan tersebut, sehingga mau tak mau harus memenuhi
kriteria tersebut jika ingin melanjutkan hidup di negeri akhirat dalam
keadaan sukses. Indikator dari ‘akhir yang baik’ adalah :
1. Dekat dengan Tuhan
Anda hanya akan memperoleh ‘akhir yang baik’, jika dalam kondisi sakaratul maut Anda merasa dekat dengan Tuhan. Anda sedang berada dalam iman yang prima. Anda sedang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya tempat meminta dan berharap. Tidak sedang mempersekutukan-Nya dengan yang lainnya. Ketika cinta Anda kepada Tuhan dalam kondisi yang paling mesra, sehingga Anda merasa tidak ada yang paling dicintai di dunia ini kecuali Tuhan. Ketika itulah Anda meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’. Anda meninggalkan dunia dengan sukses seperti yang dikatakan Asy Syibli, “Siapa yang benar-benar mengenal (mencintai) Allah tidak akan risau atau berduka cita untuk selama-lamanya”.
1. Dekat dengan Tuhan
Anda hanya akan memperoleh ‘akhir yang baik’, jika dalam kondisi sakaratul maut Anda merasa dekat dengan Tuhan. Anda sedang berada dalam iman yang prima. Anda sedang menempatkan Tuhan sebagai satu-satunya tempat meminta dan berharap. Tidak sedang mempersekutukan-Nya dengan yang lainnya. Ketika cinta Anda kepada Tuhan dalam kondisi yang paling mesra, sehingga Anda merasa tidak ada yang paling dicintai di dunia ini kecuali Tuhan. Ketika itulah Anda meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’. Anda meninggalkan dunia dengan sukses seperti yang dikatakan Asy Syibli, “Siapa yang benar-benar mengenal (mencintai) Allah tidak akan risau atau berduka cita untuk selama-lamanya”.
Sebaliknya, jika dalam keadaan sakaratul maut Anda jauh dari Tuhan.
Anda sedang mempersekutuhan Tuhan dengan sesuatu yang lain, sehingga
cinta Anda pada yang lain sama atau bahkan lebih tinggi dari cinta
kepada Tuhan, maka pada saat itu Anda mati dalam kondisi ‘akhir yang
buruk’. Hal ini merupkan puncak dari kegagalan hidup Anda di dunia.
2. Telah mendapatkan sukses yang sesungguhnya
Indikator kedua dari ‘akhir yang baik’ adalah ketika Anda meninggalkan dunia dalam kondisi telah memperoleh sukses yang lain, yaitu : hidup yang seimbang; memberikan manfaat bagi orang lain; konsisten menuju cita-cita mulia, dan menikmati kemenangan-kemenangan. Tanpa kondisi sukses tersebut, Anda berarti masih gagal. Kegagalan tidak mungkin membuat Anda mengakhiri hidup ini dengan ‘akhir yang baik’.
2. Telah mendapatkan sukses yang sesungguhnya
Indikator kedua dari ‘akhir yang baik’ adalah ketika Anda meninggalkan dunia dalam kondisi telah memperoleh sukses yang lain, yaitu : hidup yang seimbang; memberikan manfaat bagi orang lain; konsisten menuju cita-cita mulia, dan menikmati kemenangan-kemenangan. Tanpa kondisi sukses tersebut, Anda berarti masih gagal. Kegagalan tidak mungkin membuat Anda mengakhiri hidup ini dengan ‘akhir yang baik’.
3. Tidak mesti dalam kondisi kaya, tenar atau berkedudukan
Orang yang memperoleh “akhir yang baik’ tidak mesti harus kaya, tenar atau berkedudukan tinggi. Ia bisa diperoleh oleh siapa saja, termasuk oleh mereka yang miskin, tidak terkenal atau tidak memiliki jabatan apa pun. Syaratnya adalah dekat dengan Tuhan dan berada dalam kondisi sukses yang sesungguhnya seperti yang telah dikemukakan di atas.
4. Tidak mesti mati dalam penampilan yang ‘indah’
Orang yang memperoleh ‘akhir yang baik’ tidak mesti mati dalam penampilan yang ‘indah’. Misalnya, mati di atas tempat tidur dengan wajah yang cerah; mati dengan pakaian yang lengkap dan bagus; mati dalam keadaan tersenyum dan wangi; atau mitos-mitos kematian ‘baik’ lainnya. Mati dengan ‘akhir yang baik’ bisa dialami oleh mereka yang mati di medan perang dengan tubuh terkoyak-koyak; mati karena tabrakan; mati karena tenggelam; atau kematian lainnya yang membuat mayat orang yang mati tersebut tidak ‘indah’ penampilannya. Beberapa sahabat Nabi Muhammad yang meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’, ternyata mayatnya tidak berpenampilan ‘indah’. Mush’ab bin Umair (gugur dalam perang Badar dengan banyak luka di sekujur tubuhnya); Hamzah bin Abdul (gugur dalam perang Uhud dengan jantung terkoyak dan usus terburai); Abdullah bin Ummi Maktum (gugur dalam perang dengan tubuh tercerai berai); Sa’ad bin Abu Waqqash (meninggal akibat luka-luka di dalam peperangan); dan masih banyak lagi sahabat Nabi lainnya yang meninggal dalam penampilan tidak ‘indah’. Namun mereka dijamin oleh Nabi sebagai orang yang sukses karena meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’.
Orang yang memperoleh ‘akhir yang baik’ tidak mesti mati dalam penampilan yang ‘indah’. Misalnya, mati di atas tempat tidur dengan wajah yang cerah; mati dengan pakaian yang lengkap dan bagus; mati dalam keadaan tersenyum dan wangi; atau mitos-mitos kematian ‘baik’ lainnya. Mati dengan ‘akhir yang baik’ bisa dialami oleh mereka yang mati di medan perang dengan tubuh terkoyak-koyak; mati karena tabrakan; mati karena tenggelam; atau kematian lainnya yang membuat mayat orang yang mati tersebut tidak ‘indah’ penampilannya. Beberapa sahabat Nabi Muhammad yang meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’, ternyata mayatnya tidak berpenampilan ‘indah’. Mush’ab bin Umair (gugur dalam perang Badar dengan banyak luka di sekujur tubuhnya); Hamzah bin Abdul (gugur dalam perang Uhud dengan jantung terkoyak dan usus terburai); Abdullah bin Ummi Maktum (gugur dalam perang dengan tubuh tercerai berai); Sa’ad bin Abu Waqqash (meninggal akibat luka-luka di dalam peperangan); dan masih banyak lagi sahabat Nabi lainnya yang meninggal dalam penampilan tidak ‘indah’. Namun mereka dijamin oleh Nabi sebagai orang yang sukses karena meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’.
5. Tidak mesti dilawat (dikunjungi) banyak orang ketika meninggal
Kematian dengan ‘akhir yang baik’ tidak mensyaratkan adanya orang banyak yang melawat atau mengantarkan mayatnya ke kuburan. ‘Akhir yang baik’ bisa diperoleh oleh mereka yang mati tanpa dilawat orang banyak, bahkan mati dalam keadaan dikucilkan masyarakat. Konon kabarnya Abu Zar Al Ghifari, salah seorang sahabat Nabi, meninggal dunia tanpa diketahui banyak orang, sehingga di hari kematiannya hanya sedikit orang yang mengiring mayatnya ke pemakaman.
Kematian dengan ‘akhir yang baik’ tidak mensyaratkan adanya orang banyak yang melawat atau mengantarkan mayatnya ke kuburan. ‘Akhir yang baik’ bisa diperoleh oleh mereka yang mati tanpa dilawat orang banyak, bahkan mati dalam keadaan dikucilkan masyarakat. Konon kabarnya Abu Zar Al Ghifari, salah seorang sahabat Nabi, meninggal dunia tanpa diketahui banyak orang, sehingga di hari kematiannya hanya sedikit orang yang mengiring mayatnya ke pemakaman.
6. Tidak mesti dikenang banyak orang
Orang yang meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’ tidak mesti harus dikenang orang sepeninggalnya. Bahkan mungkin mereka adalah orang-orang yang tidak mau dikenal dan dikenang. Mereka adalah orang-orang yang berbuat bukan untuk dikenang orang, tapi berbuat untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Dikenang atau tidak bukan menjadi ukuran kesuksesan dalam memperoleh ‘akhir yang baik’.
Orang yang meninggalkan dunia dengan ‘akhir yang baik’ tidak mesti harus dikenang orang sepeninggalnya. Bahkan mungkin mereka adalah orang-orang yang tidak mau dikenal dan dikenang. Mereka adalah orang-orang yang berbuat bukan untuk dikenang orang, tapi berbuat untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Dikenang atau tidak bukan menjadi ukuran kesuksesan dalam memperoleh ‘akhir yang baik’.
Cara untuk Memulai Hidup dengan ‘Akhir yang Baik’
Pentingnya hidup dengan ‘akhir yang baik’ tak perlu diragukan lagi.
‘Akhir yang baik’ merupakan puncak dari prestasi kehidupan Anda. Jika
sukses lainnya menentukan keberhasilan hidup Anda di dunia yang fana,
maka ‘akhir yang baik’ menentukan keberhasilan hidup Anda di akhirat
yang kekal abadi.
Pentingnya ‘akhir yang baik’ semestinya membuat Anda sesegera mungkin
merancang hidup yang ‘berakhir dengan baik’. Bagaimana caranya?
Langkah-langkah berikut ini mungkin bisa menjadi panduan bagi Anda untuk
memulai hidup dengan ‘akhir yang baik’:
- Upayakan agar Anda selalu berada dalam ‘lingkaran’ kesuksesan, yaitu hidup yang seimbang; selalu memberikan manfaat bagi orang lain; konsisten menuju cita-cita mulia, menikmati kemenangan-kemenangan dan terus bertumbuh. Jika merasa hidup Anda berada di luar dari ‘lingkaran’ kesuksesan tersebut, segeralah berubah! Segeralah untuk berada dalam kesuksesan yang sesungguhnya.
- Dekatkan selalu diri Anda kepada Tuhan, yakni dengan banyak beribadah, mempelajari agama, menjauhi larangan-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Jika Anda merasa jauh dengan Tuhan, segeralah bertaubat dan memperbaiki diri! Mumpung masih belum terlambat. Sebab jika terlambat, hanya penyesalanlah yang akan didapat kelak. Abdul Qadir Jailani berkata : “Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik, merupakan tanda kebodohan yang mempengaruhi jiwa”.
Sukses dengan ‘akhir yang baik’ sebenarnya mudah Anda dapatkan
asalkan mempunyai kemauan untuk melakukannya. Asalkan Anda hidup
disiplin dan berupaya mengendalikan hawa nafsu.
Komentar
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya ya....!!!!!